Sunday, March 11, 2012

Dokter Asep

Hal yang setiap hari Minggu aku mulai biasakan adalah pergi kebaktian ke suatu Gereja. Aku memang bukan menjadi anggota Gereja itu, bahkan berbeda denominasi dengan tempat Gereja aku terdaftar. Namun bukan itu yang mau aku bahas. Ada yang berbeda dalam perjalanan menuju Gereja.
Aku pergi dengan menggunakan kendaraan umum (angkot mania :p)
Aku duduk di depan, di samping supir.

Perjalanan kami di mulai dari Indraprasta. Mobilnya terus melaju hingga berhenti di depan satu warung.
Dalam hatiku, aku berdoa supaya dia tidak membeli rokok dan menghisapnya.
Sungguh, aku benci asap rokok.
Dan benar saja, dia membeli satu batang rokok dan segelas minuman.
Agaknya, doaku terkabul.
Dia mengambil gelas plastik tersebut dan mulai meminum. Rokok yang ia beli dibiarkan tergeletak begitu saja.

Aku mulai gelisah takut terlambat kebaktian lalu aku melihat jam tanganku.
Dia sepertinya mengerti bahwa aku terburu-buru. Lalu ia mulai menancap gas.
Sesekali ia mengajak aku mengobrol.
Dia bercerita tentang pengalamannya sebagai supir angkot.
Dia pernah "ngerjain" bule/ tourist/ backpacker.

Akhirnya setiba di daerah Lodaya, aku memberanikan diri 'menegur' dia yang merokok.
Aku menjelaskan betapa bahayanya rokok dan betapa jahatnya produsen rokok yang sebenarnya menertawakan rakyat Indonesia yang dengan mudahnya 'membakar' uangnya.
Dia merespon dengan berkata bahwa orang Indonesia ini bodoh dan mudah dijajah.
Dia ingin berhenti merokok tapi sangat sulit dan segala macam alasannya yang membuat dia tidak dapat berhenti merokok.
Dari bahasa dan alasan-alasannya, aku perhatikan dia termasuk anak yang cukup cerdas. Logikanya berjalan dengan cukup baik.

Di daerah BTM, aku bertanya kepadanya tentang asal usulnya dan pendidikan yang pernah ia tempuh.
Saat ini, ia berumur 19 tahun dan berasal dari Brebes.
Ia bercerita bahwa ia lulusan SMP dan tidak melanjutkan sekolah.
Ia mengaku bahwa ia tidak terlalu bisa matematika ataupun menghafal.
Pelajaran yang paling ia sukai ia olah raga.
Ia berharap dapat melanjutkan pendidikannya lagi.

Perjalanan kami sudah hampir mendekati pasar Bogor, disitu aku mengajukan satu pertanyaan padanya,
"Cita-cita kamu mau jadi apa?"
Dia diam dalam waktu yang sangat lama. Aku meyakinkan dia untuk menjawab pertanyaanku. Aku bilang, aku mau ke gereja dan akan ku doakan dia agar dia dapat mencapai cita-citanya. Akhirnya sambil tertawa dengan malu-malu, ia menjawab, ingin menjadi dokter.

Tidak terasa aku tiba di tempat tujuanku.
Dia berkata, "haduh... jarang banget ada yang nanyain cita-cita saya".
Lalu ia tidak mau menerima uang yang aku beri sebagai ongkosku.
Aku tetap meletakan uang Rp 5.000,00 dan akhirnya ia memberi Rp 3.000,00 sebagai kembaliannya.

Kami berjabat tangan dan aku menanyakan namanya. Singkat, jelas, padat, namanya "Asep"

Begitu seringnya aku memikirkan diriku sendiri. Mengeluh tentang apa yang tidak aku dapat.
Betapa aku tidak bersyukur dengan apa yang ada.
Asep terlihat begitu jauh dengan cita-citanya sedangkan jarak antara aku dan cita-citaku sangat dekat.
Asep yang seumuran dengan adikku. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana jika aku ada di posisi dia.

Aku akan terus berjuang sebagai ungkapan terima kasih pada Tuhan 
dan untuk
Mereka yang belum terjangkau... Mereka yang butuh sentuhan kasih...

Semoga Asep dapat menggapai cita-citanya sebagai dokter. Amin.

No comments:

Post a Comment

alone and lonely.

Semakin tua dan dewasa, aku semakin menyadari betapa sulitnya menerima "it is what it is". Apalagi jika tidak sesuai dengan pemiki...