Ibaratkan seekor tikus yang sedang lapar. Racun tikus dioles di seekor ikan. Tanpa sadar, tikus memakan ikan tersebut lalu mati. Atau kasus-kasus lain, dimana seorang pelaku menaruh racun dalam minuman korban. Korban meminumnya tanpa sadar. Beberapa waktu kemudian sang korban meninggal entah raga ataupun jiwanya.
Ketika diibaratkan melalui hewan, rasanya ya mengenaskan tapi yasudah. Namun saat memakai kasus nyata pembunuhan lewat racun, rasanya mengerikan, kan. Untuk manusia normal pada umumnya, ya, sangat mengerikan karena nyawa seseorang sangatlah berharga. Tidak ada yang berhak mengambilnya kecuali Tuhan.
Bayangkan, kalau racun itu berupa situasi, lingkungan, atau mungkin seseorang yang Anda awalnya anggap teman. Anda tidak sadar bahwa sedikit demi sedikit perkataan teman Anda menggerogoti jiwa Anda. Atau mungkin lingkungan kerja yang sangat tidak kondusif sehingga membuat Anda merasa karakter Anda semakin lama semakin buruk. Anda kehilangan minat dan semangat Anda. Seakan-akan seseorang melakukan pembunuhan karakter dengan menyebarkan berita tidak benar mengenai Anda.
Sehingga lambat laun Anda merasa --- lebih baik tidak ada. Maka berhasilah dia membunuh kehidupan Anda.
Kalau begitu jika berada dalam lingkungan beracun tersebut apa yang harus saya lakukan ketika saya tidak dapat menghindarinya. Mau tidak mau, saya harus menghadapinya. Saya tidak nyaman. Di saat yang bersamaan saya juga berpikir, ketika saya merasa tidak nyaman, bukankah saya memberikan energi kepadanya? Jika seseorang membuat Anda susah, bukankah berarti orang itu memiliki power di atas Anda?
Saya menenangkan emosi saya, menarik nafas dalam-dalam. Mencoba bernegosiasi dengan Sang Pencipta. Sampai suatu titik saya sadar dan berserah. Mungkin inilah saatnya saya berkata: Jika boleh, cawan ini lalu padaku. Namun bukan kehendakku, melainkan kehendak-Mu terjadilah.