Aku sungguh tidak mau merasa seperti itu. Lelah sekali. Puji Tuhan, aku perlahan memupuk iman lagi. Percaya bahwa Dia tidak meninggalkan aku. Semua ini Dia ijinkan untuk membantuku di masa depan nanti. Terkadang aku hanya tidak tahan dengan penghakiman yang diberikan oleh orang-orang. Aku muak rasanya. Orang-orang, dengan tidak memikirkan bahwa aku ini (masih) manusia, melemparkan pernyataan: "Lu itu guru sekolah minggu.", atau "Lu itu psikolog." Seakan-akan, gelar tersebut menentukan bagaimana aku harus merasa dan berbuat. Menjadi guru sekolah minggu atau menjadi psikolog sekalipun tidak mencegah aku merasa sedih, marah, atau yang dianggap orang lain merasakan emosi negatif, seakan aku tak boleh salah, tak boleh cacat.
Aku hanya ingin menjadi nyata, tidak dianggap super, diberi ruang maaf, diberi ruang bahwa aku manusia yang bisa melakukan (kalau 'merasa' dianggap salah). Bagaimana kalau pernyataan itu dibalik, "Lu itu manusia", "Lu itu punya hati", "Lu berhak merasakan marah", "Ambil waktu untuk merasakan hal-hal tersebut. Berpikir. Berdiam diri."
Ah, apa gunanya aku berandai-andai, toh di bumi yang sama ini juga aku pernah merasakan hal yang berbeda. Merasakan keindahan, merasakan diterima, menjadi "cukup", dan bahagia. Ceritaku di bumi ini juga tidak akan aku biarkan berhenti di sini. Bukan karena aku guru sekolah minggu, bukan juga karena aku psikolog, tapi karena Tuhan tidak pernah berhenti mengasihi aku sekalipun aku sebenarnya tidak layak untuk dikasihi.
Kita memang tinggal di bumi yang sama tapi cerita kita tidak pernah sama. Bagaimanapun ceritamu saat ini, mungkin kamu sedang senang, di puncak kesuksesan, perjalanan berjuang, atau apapun itu, kamu tidak sendiri karena setiap orang menjalani kisahnya masing-masing. Jika sedang lelah, beristirahatlah sebentar. Tidak apa-apa. Setelah itu, ayuk kita melanjutkan perjalanan lagi bersama-sama :)