Friday, August 16, 2019

Pelayanan Psikologis di Lapas Wanita Pondok Bambu

Di awal bulan ini, tanggal 1 Agustus 2019, aku berpartisipasi dalam kegiatan Puskesmas yang diadakan di Lapas Pondok Bambu, Jakarta. Kegiatan tersebut bertujuan untuk menggerakan Wanita Usia Subur yang sudah aktif secara seksual untuk memeriksa kesehatan reproduksinya dengan IVA. Kepala Puskesmas meminta peranan psikolog untuk ikut mendukung kegiatan tersebut. Beliau ingin Wanita Usia Subur di sana sadar akan kesehatannya dan hal tersebut sesuatu yang keren. Langsung tercetus dipikiranku mengenai segitiga Maslow dan Quality of Life. Tantangannya adalah  "bagaimana mengubah konsep-konsep yang abstrak ke dalam praktek nyata sehari-hari," karena aku sadar bahwa aku tipe yang konsep banget. It's a blessing yet weakness I guess.

Well, dengan berbagai macam kegiatan dan juga alasan aku masih terus mengumpulkan ide, membaca artikel-artikel, dan materi kuliah dulu. Finally, I found the way. Lalu aku membuat power point nya, it is power point you know, it should be powerful. So then, I try (so hard) to convert the concept to the practical things. By the grace of God, of course, Voila.... It is finished..

Lalu tibalah di hari H nya. Untungnya, masuk ke daerah yang berkaitan dengan hukum bukan pertama kali untukku. Waktu kerja praktek, akupun pernah di Polda Metro Jaya and it was amazing! Aku membawa materi tersebut dan sejauh yang aku lihat, juga komentar-komentar kolega, mereka menyimak dan tertarik. Aku berasumsi mungkin karena belum ada pelayanan psikologis di sana untuk umum. Biasanya ada untuk orang-orang dengan kondisi khusus, misalnya orang dengan HIV, Narkoba, dll, yang diberikan oleh (beberapa) LSM. Setelah selesai presentasi, dijadwalkan konseling untuk empat orang yang ingin konseling. Aku agak pesimis bisa empat orang, karena aku hanya bisa sampai jam 11. Setelah itu aku ada tugas lagi di salah satu sekolah untuk membawa materi.

Di hari kedua, konseling baru mulai jam sembilan. Klien yang bisa tertangani hanya tiga orang. Satu orang lagi terlihat kecewa. Aku pun juga sebenarnya ingin melanjutkan tapi apa daya tangan tak sampai.

Meskipun bukan yang pertama, tetap saja aku selalu banyak belajar dari kehidupan di lapas. Dunia ini keras. Kita tidak bisa memilih untuk lahir dimana, siapa orangtua kita, dan itu bisa menjadi alasan seseorang melakukan tindak kejahatan. Tapi ternyata, lahir di keluarga yang banyak diinginkan orang lain, juga tidak menjamin seseorang tidak bertindak melanggar hukum. Aku sendiri jadi belajar rasa cukup dan bersyukur yang menjadi tangga ke tempat lebih tinggi. Dan perlu juga teladan, bimbingan, dan pendampingan dari orangtua. Selain itu, lingkungan dan teman-teman yang produktif, menjaga tata krama, dan berprestasi juga diperlukan untuk menjaga kehidupan tetap pada jalan yang setidaknya tidak merugikan orang lain.

Pun warga yang ada di sana masih banyak yang tetap bersemangat dan menyalurkan hobi maupun keahliannya. Keren juga pikirku. Mereka aja semangat, masa aku enggak. Ada juga yang sudah tidak bisa menangis karena sudah habis air matanya. Ada juga yang tidak pernah menangis tetapi menahan perasaan sehingga akhirnya lelah. Sebenarnya kondisi-kondisi psikologis seperti itu dengan mudah bisa ditemui di depan mata kita andaikan kita mau membuka mata, melebarkan telinga, dan mengulurkan tangan kita.

Semoga apa yang sudah aku lakukan paling tidak dapat menjadi sedikit bagian dari proses pemulihan hati warga di sana.


No comments:

Post a Comment

alone and lonely.

Semakin tua dan dewasa, aku semakin menyadari betapa sulitnya menerima "it is what it is". Apalagi jika tidak sesuai dengan pemiki...